This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 28 Mei 2015

BIOGRAFI K.H HASYIM ASHARI

 BIOGRAFI K.H HASYIM ASHARI


KH Mohammad Hasyim Asy'ari,  atau biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.


Biografi KH Hasyim Asy'ari


Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..

Biografi KH Hasyim Ashari
Logo Nahdlatul Ulama
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan
Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)


Biografi KH Hasyim Ashari


Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

KH. MAKSUM JAUHARI Alm. (GUS MAKSUM SANG PENDEKAR SEJATI)

KH. MAKSUM JAUHARI Alm. (GUS MAKSUM SANG PENDEKAR SEJATI)


  

Share : http://fb.me/1ndzeWU7s

PROFIL 


Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri pada tanggal 8 Agustus 1944. Salah seorang cucu pendiri Ponpes Lirboyo Kediri, K.H. Abdul Karim.

Semasa kecil, beliau belajar pada orangtuanya, K.H. Abdullah Jauhari di Kanigoro. Masuk SD Kanigoro (1957), lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya banyak diisi dengan pengajian-pengajian di Pesantren Lirboyo dan melanglang buana ke beberapa daerah di pulau Jawa untuk berguru ilmu silat.

Gu Maksum dikenal sebagai pendekar nomor wahid di kalangan NU. Penampilannya nyentrik: berambut gondrong, jenggot dan kumis panjang, bersarung setinggi lutut, memakai bakiyak, berpakaian seadanya, dan tidak makan nasi (ngerowot). Sikapnya tegas. Karena itulah namanya banyak digandrungi anak-anak muda NU.

Namanya identik dengan dunia persilatan, tenaga dalam, dan pengobatan. Sejak kecil sudah gemar dengan pencak silat dan berbagai bacaan wirid. Namanya terdengar ke seluruh pelosok daerah ketika menjabat Komando Penumpasan PKI dan antek-anteknya di wilayah Kediri dan sekitarnya. Beliau adalah pendiri Ikatan Pencak Silat NU Pagar Nusa dan menempati posisi sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat dan Guru Besar, sejak perguruan itu didirikan hingga ia wafat. Nama besarnya belum tergantikan hingga sekarang.

Sejak awal nama besar Gus Maksum identik dengan kesaktian. Selain menguasai banyak aliran silat dengan sempurna, ia juga memiliki banyak kemampuan linuwih lainnya. Konon, rambutnya tidak mempan dipotong, mulutnya bisa menyemburkan api, mahir dalam menaklukkan jin, memiliki kemampuan yang luar biasa (bisa melemparkan sapi seperti melemparkan sandal, bisa mengangkat mobil sendirian, dan sebagainya), tidak mempan disantet, tidak mempan senjata tajam, dan lain sebagainya.



Dalam dunia politik, Gus Maksum selalu mengikuti arah politik NU. Ketika NU bergabung dengan PPP, Gus Maksum menjadi jurkam PPP hingga tingkat nasional. Begitu pula ketika PKB didirika pada tahun 1998, Gus Maksum ganti haluan. Beliau kampanye untuk membesarkan partai itu. Namun sampai akhir hayatnya ia tidak pernah mau duduk sebagai anggota Dewan. "Pendekar ya Pendekar saja" kata beliau.


KISAH & FENOMENA


Setiap orang pasti memiliki kelebihan pada dirinya,hal ini juga terdapat pada figure seorang Gus Maksum,kisah-kisah berikut ini adalah berdasarkan fakta yang diceritakan langsung oleh beberapa nara sumber baik yang ikut bersama Gus Maksum maupun yang melihat langsung kejadian-kejadian itu.Fenomena-fenomena keluarbiasaan ini disangkalnya tatkala dikonfirmasi kepada beliau ketika masih hidup.Beliau selalu mengatakan bahwa kejadian-kejadian yang dialaminya itu semata-mata hanyalah atas izin dan pertolongan Allah tidak lebih dari itu.



Keistimewaan sejak kecil

Keistimewaan-keistimewaan Gus Maksum sudah tampak sejak kecil.pada waktu itu Gus Maksum kecil mampu melompat melayang dari satu tiang ketiang yang lainnya di masjid Kanigoro, ia juga mampu berputar cepat diatas piring tanpa pecah laksana Gangsing,padahal waktu itu ia belum mahir ilmu silat.
Gus Maksum kecil juga pernah melempar seekor kuda seperti melempar sandal.padahal waktu itu bobot angkatan beliau tidak lebih dari 20 Kg.
Dimasa remaja Gus Maksum pernah membantu salah seorang familinya untuk memasang lembu bajakannya.ketika hendak memasang tiba-tiba lembu itu mengamuk dan dengan cepat dan kuat menerjang kearah dada Gus Maksum.dengan reflex beliau menangkis dan berbalik menerkam,dan apa yang terjadi membuat semua orang yang melihatnya heran karena lembu itu terpelanting beberapa meter jauhnya,menanggapi kejadian tersebut Gus Maksum hanya berkata semua hanyalah kebetulan saja dan berkat pertolongan Allah SWT.


Rambut tidak mempan dipotong / Kyai Gondrong

Penampilan Gus Maksum dengan rambut gondrongnya bukan sekedar gaya atau hobi semata.Tetapi Rambut Gondrongnya itu merupakan sebuah ijazah yang didapat dari guru beliau yaitu Habib Baharun Mrican Kediri,hasil dari pengamalan itu sering terjadi keanehan keanehan terkait dengan rambut beliau ini,seperti rambut beliau bisa berdiri,bisa mengeluarkan api,serta tidak mempan dipotong.
Bukti daripada itu adalah,pada decade 1970-an beliau pernah terjaring razia rambut panjang.namun terjadi keanehan,setiap kali aparat menggunting rambutnya,rambut itu tidak terpotong bahkan setiap gunting yang tajam beradu dengan rambut beliau selalu mengeluarkan percikan api.Kejadian ini pernah dimuat di harian republika.

Menaklukan Jin

Berbicara tentang Gus Maksum orang awam biasanya akan langsung berasosiasi tentang jin,tapi apakah benar Gus Maksum memelihara jin seperti banyak diperbincangkan orang?
Anggapan ini tidaklah benar,yang benar Gus Maksum tidak pernah memelihara jin,tapi kalau beliau sering menaklukan jin yang mengganggu itu memang benar,Gus Maksum pernah menaklukan Patihnya jin namanya Jin Dempul ketika Gus Maksum menolong orang yang kesurupan,orang tersebut berhasil disembuhkan Gus Maksum setelah jin didalam tubuh orang itu berhasil ditaklukan.

Menghadapi puluhan orang sendirian

Salah satu kisah yang menunjukan keberanian Gus Maksum adalah ketika beliau harus bentrok dengan orang-orang PKI di alun-alun.Gus Maksum yang waktu itu sangat muda usianya mampu mengalahkan mereka semua.
Dalam pertempuran itu Gus Maksum bukan hanya menggunakan olah kanuragan tapi juga dengan olah batinnya.

Peristiwa lain ketika Gus Maksum diundang menghadiri pertandingan silat di Kediri Timur,saat itu beliau bertarung melawan pendekar silat,jago duel dari berbagai macam aliran silat yang sudah berkumpul disitu.Karena telah memiliki bekal dan kemampuan yang terlatih sejak kecil Gus Maksum mengalahkan puluhan pesilat sendirian,Bahkan lawan terakhir berhasil dikalahkan dengan sangat mudah peristiwa ini terjadi saat usia beliau 16 Tahun.
Dan itulah peristiwa paling dramatik membuat para pendekar lainnya harus mengakui kemampuan Gus Maksum di dunia persilatan

Ban bocor hanya dengan acungan jari

Saat NU masih menjadi partai massa NU sering bentrok dengan massa LDII dulu bernama Darul Hadits waktu itu termasuk underbow dari GOLKAR,suatu ketika massa LDII/Golkar berkonvoi melewati jalan depan Pesantren Lirboyo,saat itu Gus Maksum sedang menerima tamu.
Ketika arak-arakan itu sampai depan ndalem Gus Maksum,beliau langsung keluar karena mendengar bising suara knalpot dan klakson kendaraan yang memekakan telinga.Melihat gelagat yang kurang baik ini secara reflek Gus Maksum mengacungkan jari telunjuknya kearah mereka.keajaibanpun terjadi dengan serta merta seluruh ban kendaraan yang mereka tumpangi bocor secara serentak,karena bannya bocor rombongan konvoi itu tidak bisa melanjutkan arak-arakan.Akhirnya terpaksa mereka pulang dengan mendorong kendaraannya masing-masing.

Tidak mempan senjata tajam

Hal ini terbukti saat beliau melawan orang-orang PKI dahulu.Setiap Bacokan dan tebasan senjata tidak pernah bisa mengenai tubuh beliau,bahkan senjata lawan selalu berhenti jarak satu kilan dari tubuhnya.kalaupun ada yang sampai mengenai tubuh beliau,senjata-senjat tak ada satupun yang melukai beliau.
Keistimewaan ini juga terbukti ketika beliau di undang pengajian di daerah Sragen Jawa Tengah pada tahun 1999,Waktu itu tanpa ada sebab yang jelas tiba-tiba ada orang yang menikamnya Untungnya Gus Maksum tidak terluka sedikitpun hanya pakaian yang dipakai robek kena tikaman,lalu pakaian itupun beliau simpan karena pemberian dari salah seorang sahabatnya.

Tidak mempan di santet

Kalau bicara santet,banyak sekali pengalaman yang beliau dapatkan,Hampir semua aliran ilmu santet di kenalnya,dan sudah tidak terhitung banyaknya dukun santet yang pernah dihadapi,sejak kecil Gus Maksum sudah terbiasa menghadapi berbagai macam-macam aliran ilmu santet.Beliau juga tidak segan-segan untuk menantang para dukun santet secara terang-terangan.Hal itu dilakukan karena santet menurut Gus Maksum termasuk kemungkaran yang harus dilawan.
Kekebalan Gus Maksum terhadap santet juga sudah pembawaan sejak lahir,karena beliau juga masih keturunan Kiai Hasan Besari (ponorogo).Menurut Gus Maksum sebagai muslim tidak perlu khawatir terhadap santet,karena santet hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kufur atau murtad,yang penting seorang muslim haruslah selalu ingat kepada Allah dan bertawakal kepadaNya.

Diantara pengalaman Gus Maksum mengenai santet diantaranya dialaminya ketika menginap di desa Wilayu,Genteng,BanyuWangi,sekitar jam setengah dua malam,saat beliau hendak istirahat,tiba-tiba dari arah kegelapan muncul bola api sebesar telur terbang menuju kearah pahanya.Dengan santai Gus Maksum membiarkan bola api itu mendekatinya.Ketika bola api itu sampai ke paha,Beliau Cuma Tanya”Banyol tha (mau bercanda ya?) seketika itu juga bola api itu melesat pergi ditengah kegelapan malam.
Satu lagi kejadian yang pernah dialaminya,ketika bermalam didesa Kraton,Ranggeh saat Gus Maksum beristirahat,beliau di datangi kera jadi-jadian yang berusaha mencekiknya,tapi usaha itu dibiarkannya saja,setelah beberapa lama baru ditanya Gus Maksum “mau main-main ya? Langsung saja kera itu lari menghindar dari Gus Maksum.

Surat sakti

Gus Maksum pernah kedatangan tamu dari semarang yang mengeluhkan kelakuan putranya yang suka mabuk-mabukan dan sering pergi kelokalisasi, bahkan putranya sering mengancam akan membunuh orang tuanya.Karena sudah tak tahan melihat kelakuan putranya itu,ia pergi kerumah Gus Maksum di Kediri,dengan harapan mendapat obat untuk mengobati prilaku anaknya.Tapi yang diharapkan tidak dipenuhi Gus Maksum,Beliau hanya membuatkan sepucuk surat untuk dibawa pulang agar dibacakan kepada anaknya.
Walaupun orang tua itu bingung karena obat yang di harapkannya tidak diberi,ia tetap melakukan apa yang diperintahkan Gus Maksum dengan menyampaikan surat itu kepada anaknya,Dan begitulah setelah surat itu dibacakan kepada anaknya,dalam waktu singkat kelakuan anaknya yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan perlahan berubah.Singkatnya kelakuan anak itu tidak lagi nakal seperti dulu.

Gus Maksum wafat di Kanigoro pada tanggal 21 Januari 2003, Tahun ketika Persik Kediri menjadi Juara kasta tertinggi Liga Indonesia setelah menghajar tim-tim kuat dengan skor telak. Stadion brawijaya terkenal angker terhadap tim lawan Persik sering dihubung-hubungkan orang dengan kharisma beliau.

Jenazah Gus Maksum dimakamkan di pemakaman keluarga, sebelah barat masjid lama Ponpes Lirboyo. Meninggalkan perguruan silat yang kini semakin banyak anggotanya di seluruh Indonesia. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah menjadi pahala yang tidak putus-putusnya di alam kubur dan menjadi suri tauladan untuk kita semua. Amin ya Rabbal Alamiin ... Alfatihah ...

R. Totong Kiemdarto

R.TOTONG KIEMDARTO 



di masa mudanya Sepenggal Sejarah IKS PI KERA SAKTI Totong Kiemdarto Dulur-dulur pasker pasti sudah tidak asing lagi dengan bapak Totong Kiemdarto, Benar sekali, pendiri perguruan IKS PI Kera Sakti yang beliau rintis sejak masih muda itu.

hingga kini berkembang sangat pesat. Perlu diketahui, pengesahaan/ wisuda tingkat I dan II yang diadakan setahun 3 kali tidak kurang dari 3000 orang setiap pengesahaannya. Itupun yang hadir langsung di padepokan caruban (pengesahan jarak dekat)belum yang ada dikalimantan, Sulawesi, Sumatra, Timor Leste yang mengadakan pengesahaan jarak jauh. Histori terbentuknya IKS PI Kera Sakti cukup berliku-liku dan tidak langsung terbentuk seperti perguruan yang sekarang. Menurut beberapa sumber, Bapak Totong Kiemdarto ketika masih muda terkenal dengan “ndrugal”, sering mengikuti tarung- tarung jalanan dan ivent-ivent pencak dor. Sebelum mendirikan perguruan IKS PI Kera Sakti , Pak Totong ketika waktu itu juga sudah menyandang gelar pendekar di salah satu perguruan silat di madiun. Nara sumber juga bilang, Pak Totong juga menjadi “Pentolan” diperguruan tersebut, sering memimpin masa perguruan untuk bertarung secara besar-besaran. Tercacat beberapa kali terjadi pertarungan besa (berapa kali belum bisa dipastikan), beberapa mendominasi dan beberapa didominasi. Masih di sejarah IKS PI Kera Sakti, Guru besar pak Totong Kiemdarto juga memberi peninggalan beberapa semboyan kepada generasi penerus, semboyan tersebut salah satunya “kamu jual aku beli” . Dalam istilah perdagangan ada yang memproduksi, menjual dan membeli. Praktek keseharian yang ada dipasar pun ketika terjadi transaksi jual beli,n pasti penjual memberikan harga dan pembeli membayar seharga yang ditawarkan. Namun pernahkan pembeli menawar agar harga diturunkan? sering sekali. Dari pemaknaan semboyan “kamu jual aku beli” apakah disitu terdapat “aku tawar”? Apabila digabung kira-kira menjadi seperti ini “kamu jual aku tawar aku beli” , dibaca saja sudah bikin geli, Sepertinya bukan seperti itu Guru Besar IKS PI Kera Sakti memberikan arti semboyan yang beliau tinggalkan selama bertahun-tahun. Semboyan yang pas yang harus jadi pedoman oleh pasker IKS PI Kera Sakti haruslah “kamu jual aku beli” tanpa tawar menawar. Kamu jual 1 juta aku beli 1 juta, kamu jual 100 juta aku beli 100 juta, kontan tanpa nyicil. Kembali ke sejarah IKS PI Kera Sakti, lantas apa yang mendasariterbentuknya perguruan ini? Sekedar gengsi, mewadahi kreatifitas dalam bersilat, mengajarkan ideology, memberikan persaingan, balas dendam? Ada beberapa item di atasyang menjadi dasar terbentuknya perguruan ini. Masih dari nara sumber, Bapak Totong pernah memimpin pertarungan dengan masa yang besar, beberapa kali pertarungan tersebut pak Totong merasa kalah, hingga suatu ketika pak Totong pernah bersumpah “kalau kali ini aku kalah, maka aku akan meninggalkan perguruan ini sekaligus keluar dari madiun”. Dan memang benar, pertarungan terakhir yang pak totong pimpin kocar-kacir dan terpaksa ditarik mundur dari arena. Saat itu lah pak Totong benar-benar membulatkan tekatnya untuk keluar dari madiun.

Pak Totong mengembara ke berbagai wilayah di jawa, dengan maksut bukanlah semata-mata mencari kekayaan melainkan untukmemperdalam bela diri yang dimilikinya. Tidak sedikit perguruan silat serta aliran kungfu yang dipelajari pak Totong. Sampai akhirnya langkah pak Totong terhent dibagian ujung pulau jawa yaitu bumi Banten. Disinilah pak Totong menemui kemantapan setelah belajar beberapa ilmu kerohanian/ kebatinan di bumi ini. Nara sumber juga bilang, “perguruan ini muridnya tidak hanya Totong,namun diantara murid lainnya

Totonglah yang mengalami perkembangan paling pesat” . Pernah suatu ketika Pak Totong bertapa disuatu gua, entah waktu itu masih dalam proses bertapa atau sudah menyelesaikan bertapanya, rekan latihan pak Totong melihat kalau waktu itu pak Totong berlari-lari dan meloncat-loncat di dedaunan pohon, loncat dari satu tempat ke tempat lainnya. Setelah pak Totong merasa sudah cukup menimba ilmu diberbagai wilayah di jawa, pak Totong kembali ke madiun. Saat itulah pak Totong kembali menantang perguruan tersebut untuk diajak duel, kali ini Pak Totong tidak memimpin masa seperti dulu, melainkan hanya sendiri (single). Nara sumber juga bilang, pak Totong waktu itu melawan orang dalam jumlah banyak, kisaran ratusan orang yang dihadapi hanya dengan senjata “Triple Stick”. Ratusan orang tersebut berhasil dibuat kocar-kacir dan dipukul mundur oleh pak Totong sendiri. 

Hingga kini, senjata “Triple Stick” banyak dijadikan variasi hiasan dinding yang diplot dalam sebuah kertas, dengan gambar seseorang memakai baju kebesaran IKS PI Kera Sakti dan membawa senjata “Triple Stick” dengan pasangan kuda-kuda satu.

Biografi K.H. Abdul Wahab Hasbullah


Biografi K.H. Abdul Wahab Hasbullah

Standar

Pendiri NU

PENDAHULUAN

Memilik sekilas tentang sejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

Selain tokoh fundamental K.H.Hasyim Asy’ari dan K.H. A.Wahid Hasyim juga dikenal K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang berperan penting dalam proses berdiri sampai berkembangnya NU. Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim dapat dikategorikan sebagai tokoh dan teladan kaum muda, maka K.H. Wahab Hasbullah dapat dikatakan sebagai sosok kaum tua dari sederet kiai dalam organisasi tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling lama berkiprah di pentas perpolitikan nasional. Hal ini disebabkan karena ia berkiprah tanpa henti mengikuti tiga zaman, yaitu masa pergerakan sampai merebut kemerdekaan, masa kepemimpinan Soekarno dan masa kepemimpinan Soeharto. Sosok beliau dikenal sebagai seorang pekerja keras, gesit dan tekun. Walaupun tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak layak disebut sebagai pendekar, namun ulama khos Kyai Kholil Bangkalan Madura, menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”. Hal tersebut dibuktikan sebagai sosol kiai yang tidak hanya berani dengan tangan kosong, tapi juga berani  berkelahi lewat jalur politik. Beliaulah yang mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kemudian beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar yang kesemuanya itu menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan dalam urusan mistik, Kiai Wahab Hasbullah mempunyai wirid tersendiri yang bukan hanya cukup disegani, melainkan juga banyak dipercayai oleh para santri dalam memudahkan segala urusan dunianya.
Kiai Wahab Hasbullah adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis, dan terbuka. Ia bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih sehingga sering mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah ini, semoga dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin menjadikan beliau sebagai teladan.

B.     BIOGRAFI KIAI WAHAB HASBULLAH

       Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak

Kiai Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Latifah, pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala permainan.

     Silsilah Keturunan

K.H. Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichah.

     Pendidikan

Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1.      Pesantren Langitan Tuban.
2.      Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3.      Pesantren Cempaka.
4.      Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5.      Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6.      Pesantren Branggahan, Kediri.
7.      Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).

   Menikah dan Membina Rumah Tangga

Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).

   Wafat

K.H. Abdul Wahab Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul Ulama sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar terakhir yang diikutinya. Khutbah al-iftitah muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada K.H. Bisri Syansuri yang biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai Rais Aam untuk membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya, tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12 Dzulqa’idah 1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di kediamannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri, 2008:107).

C.    PERJUANGAN

Perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan, organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda.
Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.
Tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan” yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.
Beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis.
Selanjutnya, pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H. Hasyim Asy’ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.

D.    PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH

Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.
Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.

   Bidang Pendidikan

Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:
1.   Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2.   Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3.   Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
4.   Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).

   Bidang Keagamaan

Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai moderatisme.

   Pergerakan

Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?
Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.

   Demokrasi

Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:
“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).
         Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

E.     WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH

Ukuran ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya, karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun, melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang suka menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut konsep aswaja.
Namun, sebenarnya  tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkaenal dan biasa diamalkan terutama dikalangan Pesantren sampai sekarang, dicuplik dari buku Azis Mashyuri, yaitu:
            “Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
                        ‘alal habibika khairil khalqi kullihimi
            Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu
                        Likulli hauli minal ahwali muktahimi”.

F.     PENUTUP

Pepatah menyatakan “tiada gading yang tak retak”, penyusun tuliskan sebagai reflaksi terhadap tokoh Kiai Wahab Hasbullah dalam makalah ini. Beliau memang orang besar, semua orang banyak yang mengakuinya. Namun, Kiai Wahab Hasbullah juga seorang manusia. Manusia tetaplah manusia yang tetap pada sifat kemanusiaannya, bisa marah, bisa lupa ataupun salah. Karena jika tidak demikian ia tentunya adalah malaikat.
Pemakalahpun dalam hal ini melihat sosok beliaupun demikian. Pemakalah tidak meragukan perannya terhadap berbagai pergerakan dan organisasi yang beliau realisasikan didalamnya, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tahun 1926 dan telah berkembang menjadi organisasi terbesar dikalangan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Menurut Budiawan, suatu godaan besar senantiasa menghadang para penulis biografi adalah kecenderungan untuk terjebak kedalam personifikasi nilai-nilai pada diri tokoh yang menjadi subyek penulisan. Lebih-lebih bila motivasi itu berada diluar kepentingan akademis, godaan yang lebih besar semakin tak terelakkan.
Jika godaan itu semakin besar, tidak jarang dijumpai sebuah biografi yang mengisahkan seorang tokoh melampaui kapasitasnya sebagai manusia. Biografi semacam ini jelas sudah sudah tidak lagi berbicara tentang kisah manusia, tetapi kisah tentang manusia yang telah dinobatkan sebagai “setengah dewa” atau “dewa”.
Budiawan dalam hal ini sepakat dengan pendapat Ralph Ross, bahwasanya biografi bukan sepenuhnya ilmu, melainkan berada pada perbatasan antara ilmu dan seni. Dalam bahasa Ralph Ross, biografi adalah seni yang semi-ilmiah (Budiawan, 2006:1-4).

DAFTAR PUSTAKA

  
Rifa’i, Muhammad. K.H. Wahab Hasbullah Biografi Singkat 1888-1971. Garasi House of Book. Jogjakarta. 2010.
Tim PW LP Ma’arif Jawa Timur. Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif. Jawa Timur.
Azra, Azyumardi. Islam Reformis. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 1999.
Maschan Moesa, Ali. Kiai Politik. LEPKISS. Surabaya. 1999.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad. Islam dan Politik. Insani Press. Jakarta. 1996.